Sekilas Tentang Film Sosok Ketiga: Lintrik
Film Sosok Ketiga: Lintrik persembahan Leo Pictures menarik perhatian publik sejak perilisannya pada 6 November 2025 karena mengangkat tema yang jarang disentuh dalam perfilman Indonesia: ilmu pelet lintrik dari Jawa Timur. Disutradarai oleh Fajar Nugros, film ini memadukan unsur drama rumah tangga, mistisisme lokal, dan konflik spiritual, menciptakan perpaduan antara ketegangan emosional dan teror gaib.
Berbeda dari kebanyakan film horor Indonesia yang menonjolkan sosok hantu atau efek kejutan visual, Sosok Ketiga: Lintrik menghadirkan cerita yang lebih intim dan reflektif. Ia mengajak penonton menyelami sisi gelap hubungan manusia, di mana cinta bisa berubah menjadi obsesi dan kepercayaan bisa menuntun pada kehancuran.
Sinopsis Film Sosok Ketiga: Lintrik
Andin (Adinda Thomas) menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama suaminya, Aryo (Wafda Saifan), selama enam bulan pertama pernikahan mereka. Namun kebahagiaan itu mulai pudar ketika Aryo menunjukkan perubahan sikap yang mencurigakan—dingin, jauh, dan seperti dikendalikan sesuatu yang tak terlihat.
Kecurigaan Andin membawanya pada sosok Naura (Aulia Sarah), perempuan misterius yang diyakini menggunakan ilmu lintrik untuk merebut Aryo dari pelukan istrinya. Dari sinilah konflik rumah tangga berkembang menjadi teror spiritual yang menguji batas cinta, logika, dan iman.
Arti “Lintrik” dan Nilai Budaya di Baliknya
Istilah lintrik berasal dari tradisi mistik Jawa Timur, terutama di daerah Banyuwangi, yang dikenal dengan praktik spiritual dan ilmu pengasihan. Lintrik dipercaya sebagai bentuk ilmu pelet tingkat tinggi—mantra atau kekuatan batin yang mampu menundukkan hati seseorang.
Dalam film ini, “lintrik” bukan sekadar unsur supranatural, tetapi menjadi simbol obsesi, kendali, dan kekuasaan dalam hubungan manusia. Fajar Nugros menggunakan mitos tersebut untuk menggambarkan bagaimana cinta yang kehilangan keikhlasan dapat berubah menjadi bentuk penguasaan yang merusak. Dengan latar budaya yang kaya, film ini sekaligus menjadi jembatan antara modernitas dan spiritualitas lokal Indonesia.
Analisis Film: Antara Drama dan Teror
Film Sosok Ketiga: Lintrik menghadirkan pengalaman menonton yang berbeda karena tidak hanya berfokus pada teror supranatural, tetapi juga menelusuri dimensi emosional dan psikologis dari hubungan manusia. Fajar Nugros menyeimbangkan dua dunia — dunia nyata dan dunia gaib — sehingga ketakutan terasa tumbuh secara perlahan dan alami. Teror tidak datang dari makhluk halus semata, tetapi dari perasaan curiga, cemburu, dan kehilangan kendali atas orang yang dicintai.
Tema yang diangkat terasa segar karena berakar pada kepercayaan tradisional Jawa Timur. “Lintrik” dalam konteks ini menjadi metafora tentang cinta yang memanipulasi, bukan mencintai. Film ini berhasil menyajikan kisah tentang kekuatan spiritual yang beririsan dengan keinginan manusia untuk memiliki dan menguasai, menciptakan suasana yang tak hanya mencekam tapi juga reflektif.
Kekuatan film ini juga terletak pada penyutradaraannya yang terukur. Fajar Nugros tidak terburu-buru menciptakan ketegangan; ia membangun atmosfer secara perlahan. Tone visual berubah dari hangat menjadi dingin, menggambarkan kehancuran hubungan dan dominasi energi gelap. Perubahan warna dan pencahayaan menjadi simbol perjalanan emosional para tokoh.
Dari sisi akting, Adinda Thomas menampilkan performa kuat sebagai Andin, mencerminkan penderitaan batin dan kekuatan perempuan yang teruji oleh pengkhianatan. Aulia Sarah berhasil membawa karakter Naura menjadi figur yang menakutkan sekaligus memikat, menegaskan kehadiran perempuan sebagai sumber kekuatan spiritual yang kompleks. Sementara Wafda Saifan tampil solid sebagai suami yang terjebak di antara dua kekuatan perempuan, meski karakternya tidak sekuat dua pemeran utama wanita.
Visual film ini juga patut diapresiasi. Dengan pencahayaan redup, tata artistik khas rumah tradisional, dan iringan gamelan halus di latar suara, Sosok Ketiga: Lintrik menonjolkan atmosfer mistik yang otentik. Ketegangan dibangun tanpa mengandalkan jump scare berlebihan, melainkan melalui suasana, ekspresi, dan diam yang mencekam.
Pesan Moral dan Nilai Budaya
Di balik teror dan drama, film ini menyampaikan pesan moral tentang cinta, kejujuran, dan karma. Cinta sejati tidak bisa dipaksakan, apalagi melalui kekuatan gaib. Hubungan yang dilandasi keinginan untuk menguasai hanya akan melahirkan penderitaan. Film ini menjadi pengingat bahwa kekuatan spiritual yang digunakan dengan niat buruk akan selalu berbalik pada pelakunya.
Selain itu, Sosok Ketiga: Lintrik memotret benturan antara tradisi dan modernitas. Meski berlatar masa kini, kepercayaan lama tetap membayangi kehidupan tokohnya. Hal ini menggambarkan kenyataan sosial di Indonesia: bahwa spiritualitas tradisional masih berperan dalam membentuk perilaku dan keputusan manusia.
Dari sisi budaya, film ini memberi kontribusi penting dalam melestarikan identitas lokal melalui media populer. “Lintrik” tidak dihadirkan sebagai hiburan mistik semata, tetapi sebagai simbol hasrat manusia yang menembus batas moral. Melalui cerita ini, Fajar Nugros memperlihatkan bahwa budaya lokal bisa menjadi bahan refleksi universal tentang kebaikan, kekuasaan, dan cinta yang tersesat arah.
Kelebihan dan Kekurangan Film
Keunggulan utama film ini adalah keberaniannya mengangkat mistisisme Jawa Timur ke layar lebar dengan pendekatan emosional. Ceritanya tidak hanya menghibur, tetapi juga membuka ruang refleksi bagi penonton tentang makna cinta dan kepercayaan. Akting para pemeran, terutama Adinda Thomas dan Aulia Sarah, menjadi pilar kekuatan yang membuat kisah ini terasa hidup.
Dari sisi teknis, sinematografi film ini memanjakan mata dengan visual yang estetis dan simbolik. Tone warna yang berubah sesuai kondisi emosional tokoh berhasil memperkuat cerita. Tata artistik dan latar suara bernuansa etnik menambah kedalaman atmosfer budaya.
Namun, film ini masih memiliki beberapa kekurangan. Alur cerita terkadang terasa mudah ditebak, dan perpindahan dari drama ke horor kadang kurang mulus. Beberapa dialog juga terdengar terlalu menjelaskan pesan moral secara langsung, sehingga kehilangan kesan subtil. Intensitas teror tidak selalu stabil — ada bagian yang sangat kuat, tapi juga momen di mana ketegangan menurun terlalu cepat. Meski begitu, kelemahan-kelemahan tersebut tidak menutupi nilai artistik dan pesan yang ingin disampaikan.
Kesimpulan: Apakah Sosok Ketiga: Lintrik Layak Ditonton?
Secara keseluruhan, Sosok Ketiga: Lintrik adalah film horor budaya yang layak ditonton. Ia tidak hanya memberikan ketakutan visual, tetapi juga menimbulkan rasa gelisah emosional dan spiritual. Film ini menawarkan pengalaman yang lebih dalam daripada sekadar menakut-nakuti — ia mengajak penonton merenung tentang cinta, kepercayaan, dan akibat dari perbuatan manusia.
Fajar Nugros berhasil menghadirkan karya yang memadukan drama, budaya, dan mistisisme secara harmonis. Film ini mungkin tidak memuaskan semua penggemar horor konvensional, tetapi bagi mereka yang menyukai cerita reflektif dengan akar budaya lokal, Sosok Ketiga: Lintrik akan terasa istimewa.