Sekilas Tentang Film Shutter (2025)
Film Shutter (2025) adalah remake dari film horor legendaris asal Thailand yang rilis pada tahun 2004. Versi terbarunya diproduksi oleh Falcon Pictures dan disutradarai oleh Herwin Novianto, menampilkan Vino G. Bastian sebagai Darwin dan Anya Geraldine sebagai Pia. Film ini resmi tayang di seluruh bioskop Indonesia mulai 30 Oktober 2025, bertepatan dengan momen Halloween.
Kisahnya masih sama: seorang fotografer mulai dihantui oleh sosok misterius yang muncul dalam setiap hasil jepretannya setelah ia terlibat dalam kecelakaan. Namun, versi Indonesia menghadirkan dimensi baru yang lebih relevan secara sosial, dengan isu kekerasan seksual, rasa bersalah, dan trauma yang dibungkus dalam nuansa horor psikologis.
Ketika Horor Menjadi Cermin Rasa Bersalah dan Diam
Sejak menit-menit awal, Shutter (2025) berhasil menghadirkan atmosfer mencekam dengan nuansa visual modern dan pencahayaan yang terasa nyata. Sinematografi film ini cenderung lebih bersih, urban, dan modern dibandingkan versi Thailand yang lebih gelap dan lembab. Herwin Novianto tampak sengaja membentuk dunia visual yang tidak hanya berfungsi menakutkan, tetapi juga membangun konteks sosial: bagaimana ruang-ruang publik dan pribadi bisa menyimpan rahasia, rasa bersalah, bahkan trauma. Inilah keunggulan film ini — ia tidak hanya mengandalkan kengerian dari hantu, tetapi dari emosi manusia yang tak terselesaikan.
Salah satu daya tarik utama Shutter (2025) terletak pada keberaniannya menyorot isu kekerasan seksual dan budaya diam di lingkungan kampus. Tema ini memberikan lapisan baru yang membuat cerita terasa lebih membumi dan relevan. Horor dalam film ini bukan hanya berasal dari sosok gaib yang menghantui, melainkan dari dosa masa lalu dan ketidakmampuan seseorang menghadapi kebenaran. Pendekatan ini menjadikan Shutter (2025) lebih dari sekadar film horor biasa — ia menjadi film reflektif yang menantang penonton untuk berpikir.
Namun, di balik kekuatan tematiknya, film ini tidak luput dari beberapa kelemahan yang membuatnya terasa kurang “menggigit” dibanding versi aslinya. Alur cerita yang nyaris identik dengan Shutter (2004) membuat sebagian penonton yang sudah mengetahui kisah aslinya kehilangan kejutan besar di akhir film. Twist yang dulu begitu mengguncang kini terasa dapat ditebak. Meski eksekusinya tetap solid, hilangnya elemen misteri menjadikan pengalaman menontonnya tidak seintens dulu.
Dari sisi tensi horor, Shutter (2025) memilih pendekatan yang lebih lembut dan emosional. Jumpscare digunakan dengan hemat, sementara ketegangan lebih dibangun melalui suasana dan ekspresi karakter. Hal ini tentu menjadi pedang bermata dua: di satu sisi menciptakan pengalaman horor yang lebih elegan dan matang, namun di sisi lain bisa terasa “kurang menakutkan” bagi penonton yang menginginkan sensasi adrenalin seperti versi Thailand. Bagi mereka yang mencari ketakutan murni, versi Indonesia mungkin terasa terlalu tenang dan penuh dialog reflektif.
Meski demikian, kekuatan akting para pemeran utama menutupi beberapa kelemahan tersebut. Vino G. Bastian tampil memukau sebagai fotografer yang dihantui rasa bersalah, menampilkan perubahan emosi yang subtil namun intens. Sementara Anya Geraldine memberi warna baru sebagai Pia — bukan sekadar kekasih yang ketakutan, tetapi perempuan yang berani mencari kebenaran. Perubahan karakter ini menghadirkan pesan yang lebih progresif dan memperlihatkan bagaimana perfilman horor Indonesia mulai meninggalkan stereotip perempuan pasif.
Dari segi teknis, film ini juga menunjukkan peningkatan kualitas produksi. Tata suara dan penggunaan kamera manual menjadi simbol penting dalam narasi: setiap kilatan flash bukan hanya alat menangkap gambar, tetapi juga memunculkan kembali bayangan masa lalu. Efek-efek visualnya tidak berlebihan, justru menambah kesan realistis dan memperkuat aspek psikologis cerita. Nuansa lokal terasa alami tanpa harus dipaksakan, membuat film ini tetap akrab bagi penonton Indonesia masa kini.
Secara keseluruhan, Shutter (2025) adalah film yang layak ditonton bahkan bagi mereka yang sudah menonton versi aslinya. Walaupun kehilangan sedikit elemen kejutan, film ini menebusnya dengan kekuatan pesan dan relevansi sosial yang mendalam. Ia berbicara tentang rasa bersalah, trauma, dan keberanian untuk bersuara — sesuatu yang jarang diangkat dalam film horor Indonesia. Dalam versi ini, ketakutan bukan lagi tentang hantu yang muncul di foto, melainkan tentang bagaimana manusia berhadapan dengan kebenaran yang ia sembunyikan sendiri.
Bagi penonton baru, film ini akan terasa segar, emosional, dan penuh makna. Sedangkan bagi penonton lama, Shutter (2025) tetap menarik sebagai interpretasi baru dari kisah klasik yang kini disesuaikan dengan realitas sosial Indonesia. Singkatnya, film ini membuktikan bahwa remake tidak selalu berarti meniru, tetapi bisa menjadi cara untuk menyuarakan ulang rasa takut dan penyesalan dengan cara yang lebih manusiawi.
Kesimpulan: Shutter (2025) dan Bayangan yang Tak Pernah Padam
Pada akhirnya, Shutter (2025) bukan sekadar remake dari film horor klasik, melainkan sebuah tafsir baru tentang rasa bersalah dan keheningan moral. Film ini menghadirkan horor yang lebih manusiawi — di mana ketakutan bukan hanya datang dari sosok gaib, melainkan dari hati nurani yang menolak untuk jujur. Meski beberapa bagian terasa familiar bagi penonton yang sudah menyaksikan versi Thailand, kehadiran isu sosial yang kuat menjadikannya lebih relevan dan bernilai untuk ditonton saat ini.
Kualitas sinematografi yang tajam, karakter perempuan yang lebih berdaya, dan penyutradaraan yang peka terhadap konteks sosial menjadikan film ini lebih dari sekadar kisah hantu di balik kamera. Ia berubah menjadi refleksi tentang dosa, trauma, dan keberanian untuk bersuara — tema yang jarang muncul di film horor Indonesia modern.
Mungkin Shutter (2025) tidak akan membuatmu menjerit ketakutan seperti versi aslinya, tetapi film ini akan membuatmu diam dalam renungan setelah lampu bioskop menyala. Dan di situlah letak kekuatan sejatinya.