Wednesday, December 17, 2025
HomeFilmGetih Ireng dan Representasi Santet dalam Sinema Indonesia Modern

Getih Ireng dan Representasi Santet dalam Sinema Indonesia Modern

Analisis mendalam film horor Getih Ireng karya Tommy Dewo: antara santet, trauma, dan darah hitam yang mengutuk.

Pengantar

Film Getih Ireng menjadi perbincangan hangat di dunia perfilman Indonesia pada tahun 2025. Disutradarai oleh Tommy Dewo, film ini menggabungkan kengerian tradisional dengan gaya visual modern. Dibintangi oleh Titi Kamal, Darius Sinathrya, dan Sara Wijayanto, Getih Ireng bukan sekadar kisah mistis biasa — ia adalah refleksi tentang warisan spiritual, kutukan darah, dan trauma antargenerasi.

Judulnya sendiri, Getih Ireng atau darah hitam, sudah mengandung simbolisme yang dalam: darah yang seharusnya memberi kehidupan justru menjadi sumber kutukan dan kematian. Dari situ, film ini berangkat untuk menjelajahi ketegangan antara iman dan logika, modernitas dan tradisi, serta realitas dan supranatural — dilema yang sangat Indonesia.

Santet dalam Budaya Populer Indonesia

Santet selalu menjadi elemen kuat dalam narasi budaya Nusantara. Dalam masyarakat tradisional, ia bukan sekadar cerita menakutkan, tetapi juga cara masyarakat menjelaskan penderitaan dan keadilan yang tak kasatmata.

Sejak era 1980-an, film seperti Santet (1988) dan Leak (1981) menjadikan praktik ilmu hitam sebagai pusat konflik. Namun, horor Indonesia kini memasuki babak baru: santet tidak lagi diperlakukan sekadar sebagai ritual jahat, tetapi sebagai metafora dari rasa bersalah, dendam, dan luka kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Di sinilah Getih Ireng menempati posisi istimewa. Ia tidak menjual ketakutan secara murahan, melainkan menawarkan tafsir baru tentang spiritualitas dan psikologi manusia modern yang kehilangan arah.

Pendekatan Modern dalam Getih Ireng

Salah satu keunggulan Getih Ireng adalah cara Tommy Dewo memadukan akar mistis budaya Jawa dengan estetika sinema kontemporer. Ia menampilkan dunia spiritual bukan sebagai dunia asing yang jauh dari kita, tetapi sebagai cermin dari batin manusia modern — rapuh, bersalah, dan haus penebusan.

Film ini meninggalkan formula horor konvensional yang bergantung pada jump scare dan visual berlebihan. Sebaliknya, Dewo membangun ketegangan lewat keheningan, pencahayaan temaram, dan simbol-simbol visual yang sarat makna. Teror muncul perlahan, seolah merayap dari dalam tubuh dan kesadaran tokohnya.

Simbol getih ireng menjadi pusat gravitasi film. Darah hitam bukan sekadar efek mistik, tetapi representasi korupsi moral dan dosa yang diwariskan. Ia menggambarkan bagaimana luka masa lalu dapat menodai kehidupan yang sekarang — bahwa kadang, warisan paling menakutkan bukanlah harta atau nama, melainkan beban spiritual keluarga sendiri.

Konflik antara Rina dan Pram memperlihatkan benturan antara sains dan keyakinan. Setelah berulang kali gagal secara medis untuk memiliki anak, pasangan ini dihadapkan pada kenyataan bahwa mungkin ada kekuatan lain yang bekerja di luar logika. Pertarungan batin antara “percaya pada dokter” dan “percaya pada dukun” menjadi refleksi realistik masyarakat Indonesia: kita hidup di tengah pertemuan dua dunia yang sama-sama diyakini.

Secara teknis, Getih Ireng juga menonjol lewat penggunaan tone warna tanah dan merah kehitaman, yang menegaskan nuansa korup dan kelam dari darah sebagai simbol kehidupan yang terkontaminasi. Desain suara yang minimalis namun menghantui membuat penonton seolah terjebak dalam ruang spiritual yang tidak dapat dijelaskan — antara nyata dan tidak nyata.

Pendekatan ini menempatkan Getih Ireng sejajar dengan film-film psychological horror seperti Hereditary atau Impetigore, namun dengan karakteristik lokal yang kuat. Dewo tidak hanya mengadaptasi gaya luar negeri, melainkan menciptakan bahasa visual baru untuk horor Indonesia yang kontemplatif dan berakar budaya.

Simbolisme dan Makna Sosial

Getih Ireng bukan hanya kisah teror, tetapi juga pernyataan sosial dan spiritual. “Darah hitam” dalam film ini bisa dibaca sebagai simbol kutukan moral dan ketidakmurnian hati manusia. Ia mencerminkan bagaimana kesalahan masa lalu, dosa leluhur, dan rahasia keluarga bisa merusak keseimbangan hidup generasi penerus.

Film ini juga memperlihatkan ketegangan spiritual masyarakat modern — antara rasionalitas dan kepercayaan. Di satu sisi, tokohnya percaya pada ilmu pengetahuan; di sisi lain, mereka tetap takut pada hal-hal yang tidak terlihat. Ketegangan ini mencerminkan realitas masyarakat Indonesia yang hidup di dua dunia sekaligus: dunia modern yang serba sains, dan dunia lama yang masih menyimpan rasa takut terhadap yang gaib.

Dari perspektif gender, Getih Ireng juga menghadirkan narasi kuat tentang perempuan dan penderitaan. Tokoh Rina menjadi representasi perempuan yang terus disalahkan atas keturunan, kehilangan, dan kutukan. Ia berjuang bukan hanya melawan santet, tetapi juga stigma sosial dan tekanan patriarki. Dalam hal ini, film ini berfungsi sebagai kritik lembut terhadap cara masyarakat memaknai kesuburan dan peran perempuan.

Posisi Getih Ireng di Peta Horor Indonesia

Gelombang baru film horor Indonesia telah menghasilkan karya-karya yang semakin berani: Sewu Dino, Qodrat, Indigo, hingga Getih Ireng membuktikan bahwa unsur budaya lokal dapat menjadi kekuatan utama, bukan sekadar latar belakang eksotis.

Getih Ireng memperkaya tren tersebut dengan menghadirkan horor yang tidak hanya mengandalkan rasa takut, tetapi menawarkan pengalaman spiritual dan reflektif. Ia menunjukkan bahwa horor Indonesia tak harus mengekor formula Barat — cukup menggali trauma dan mitos dari tanah sendiri untuk menciptakan kisah yang autentik dan relevan.

Penutup

Melalui Getih Ireng, Tommy Dewo mengingatkan bahwa teror sejati tidak selalu datang dari hantu, melainkan dari rasa bersalah dan dosa yang belum ditebus. Film ini mengajak penonton untuk menatap sisi tergelap budaya dan diri manusia — darah yang menghitam karena terlalu lama menahan luka.

Sebagai bagian dari kebangkitan sinema horor Indonesia, Getih Ireng berhasil menempatkan santet bukan sekadar sebagai legenda, tetapi sebagai refleksi sosial, spiritual, dan psikologis masyarakat kita.
Di balik darah hitam yang mengalir, ada kisah tentang manusia yang berusaha berdamai dengan masa lalunya — dan itulah horor paling nyata dari semuanya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments