Pendahuluan: Dua Wajah, Satu Cerita Cinta
Ketika Ada Apa Dengan Cinta? (AADC) dirilis pada tahun 2002, penonton Indonesia langsung jatuh cinta pada pasangan ikonik Rangga dan Cinta yang diperankan oleh Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo. Dua dekade kemudian, kisah yang sama dihidupkan kembali lewat film Rangga & Cinta (2025) dengan wajah baru — El Putra Sarira dan Leya Princy.
Perubahan ini bukan sekadar pergantian aktor, tetapi juga representasi dari perubahan zaman, cara bercerita, dan cara generasi baru menafsirkan cinta. Dari tatapan dingin Rangga 2002 hingga kelembutan Rangga 2025, dari keanggunan Cinta klasik hingga keberanian Cinta masa kini — keduanya menyatu dalam satu semesta emosional yang diciptakan oleh Riri Riza dan Mira Lesmana.
Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo: Cinta dalam Keheningan
Pada 2002, Nicholas Saputra muncul sebagai sosok Rangga yang dingin, tenang, dan penuh misteri. Ia tidak banyak bicara, tetapi setiap tatapannya membawa lapisan emosi yang dalam. Dengan gaya bicara yang pelan dan bahasa tubuh yang kaku, Rangga versi Nicholas menjadi simbol laki-laki intelektual yang kesepian.
Sementara itu, Dian Sastrowardoyo sebagai Cinta menampilkan kehangatan, kecerdasan, dan ketegasan khas remaja modern di awal 2000-an. Ia populer, ekspresif, dan ambisius — sosok yang kontras dengan Rangga, tapi justru menciptakan ketegangan romantis yang autentik. Chemistry mereka terasa alami, bukan karena dialog manis, tetapi karena diam yang berbicara.
Rangga dan Cinta versi 2002 adalah representasi dua dunia: antara idealisme dan kenyataan, antara kesunyian dan sorotan, antara cinta yang menahan diri dan cinta yang berani. Penampilan Nicholas dan Dian menjadikan film ini bukan sekadar kisah remaja, melainkan potret psikologis generasi muda yang sedang belajar menjadi dewasa.
El Putra Sarira dan Leya Princy: Menyanyikan Cinta dengan Cara Baru
Dua puluh tiga tahun kemudian, Riri Riza mempercayakan kisah ikonik ini kepada El Putra Sarira dan Leya Princy, dua aktor muda dengan latar seni pertunjukan yang kuat. Keduanya bukan sekadar memerankan ulang, tetapi menafsirkan ulang karakter klasik dengan nuansa generasi sekarang.
El Putra Sarira menampilkan Rangga yang lebih reflektif, lembut, dan manusiawi. Jika Nicholas Saputra adalah simbol keheningan yang tegas, maka El Putra membawa keheningan yang rapuh — sebuah kesunyian yang bisa menyanyi. Dalam format musikal, ekspresi Rangga ditunjukkan bukan hanya lewat tatapan, tetapi lewat puisi dan lagu yang ia nyanyikan sendiri.
Sementara Leya Princy sebagai Cinta menampilkan karakter yang lebih terbuka terhadap kerentanan. Ia tidak lagi sekadar remaja populer, melainkan sosok yang berani mempertanyakan ekspektasi sosial dan mencari keaslian diri. Dalam versi baru ini, Cinta tidak berlari menuju cinta, melainkan berjalan bersama kesadarannya sendiri.
Keduanya membawa dinamika baru — hubungan mereka tidak lagi dibangun atas ketegangan gengsi, tetapi atas proses saling memahami. Dalam tangan generasi baru ini, cinta bukan sekadar kisah dua hati, melainkan perjalanan dua jiwa untuk menjadi utuh.
Dua Gaya, Dua Era, Satu Emosi yang Sama
Perbedaan mencolok antara dua generasi pemeran Rangga dan Cinta bukan terletak pada usia atau cara berbicara, tetapi pada cara mengekspresikan cinta dan keheningan.
Nicholas dan Dian hidup di masa ketika sinema Indonesia sedang mencari bentuknya kembali; ekspresi sederhana, tatapan lama, dan ruang diam menjadi kekuatan utama. Sementara El dan Leya hadir di masa di mana penonton lebih terbiasa dengan ekspresi visual yang dinamis dan dialog musikal.
Namun, di balik semua perbedaan itu, keduanya tetap membawa satu emosi yang sama — cinta yang tumbuh dari kejujuran batin.
Jika pasangan AADC 2002 membuat penonton jatuh cinta pada tatapan, maka pasangan 2025 membuat penonton terharu oleh kesadaran. Cinta versi lama adalah keberanian untuk mengungkapkan, sementara cinta versi baru adalah keberanian untuk memahami.
Respons Publik: Nostalgia Bertemu Pembaruan
Ketika trailer Rangga & Cinta (2025) dirilis, reaksi publik sangat beragam. Penonton yang tumbuh bersama AADC mengaku awalnya sulit menerima pemeran baru, namun berubah kagum setelah menonton filmnya. Banyak yang menyebut bahwa El Putra Sarira dan Leya Princy berhasil menghadirkan roh lama dalam wajah baru.
Generasi muda justru menyambut hangat karena merasa lebih dekat dengan versi 2025 yang musikal dan introspektif. Di media sosial, komentar seperti “Rangga sekarang lebih manusiawi” dan “Cinta lebih berani menjadi dirinya sendiri” ramai dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pemeran justru membuka ruang bagi penonton lintas generasi untuk menemukan makna baru dari kisah klasik ini.
Kritikus film juga menilai bahwa Riri Riza dan timnya berhasil melakukan casting transformatif — tidak sekadar mencari wajah mirip, tetapi jiwa yang serupa.
Kesimpulan: Cinta yang Menyala di Dua Zaman
Baik Ada Apa Dengan Cinta? (2002) maupun Rangga & Cinta (2025) memperlihatkan bahwa kisah cinta sejati tidak pernah padam, hanya berubah bentuk mengikuti zaman.
Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo telah menciptakan fondasi emosional yang kuat, sementara El Putra Sarira dan Leya Princy melanjutkannya dengan bahasa baru yang sesuai dengan generasi mereka.
Perjalanan dua pasangan ini menggambarkan bahwa cinta bukan sekadar perasaan romantis, tetapi proses memahami diri dan orang lain. Di antara kata dan lagu, di antara keheningan dan keberanian, kisah Rangga dan Cinta terus hidup — menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara kenangan dan kesadaran.
[…] Rangga & Cinta sukses mencetak prestasi membanggakan. Film ini resmi memenangkan kategori Film Pilihan Penonton di […]