Terlepas dari berbagai catatan saya akan Kuasa Gelap, film ini sebenarnya menjadi angin segar dalam film horor Indonesia yang sudah padat dengan cerita religi dari agama dan budaya tertentu.
Kisah yang ditulis oleh Andri Cahyadi, Robert Ronny, dan Vera Varidia ini memang jauh dari kata memukau, atau setidaknya membuat saya tergerak memberikan rating 4 atau full 5 bintang.
Berbagai rasa penasaran berkecamuk dalam benak saya sebelum melihat film ini akibat narasi itu, bagaimana Gereja Katolik di Indonesia menyikapi laporan kerasukan, apakah sama seperti di Amerika? Bagaimana para pastor memisahkan masalah mental dan gaib? Kasus ‘sehebat apa’ di Indonesia hingga akhirnya benar-benar dianggap kerasukan?
Namun sayang, sebagian besar pertanyaan saya itu tidak terjawab dalam Kuasa Gelap. Andri, Robert, dan Vera tampaknya lebih banyak fokus pada pergulatan batin seorang pastor muda menghadapi trauma masa lalu dan tugas berat dari Gereja demi menolong seorang gadis yang galau.
Harapan saya mendapatkan jawaban-jawaban sebelumnya semakin tenggelam usai mendengar sebagian percakapan yang sangat kaku dan lebih mirip drama telenovela dibanding film layar lebar.
Selain itu, saya merasa tim penulis dan sutradara Bobby Prasetyo banyak terpengaruh dari gaya James Wan yang menciptakan semesta The Conjuring, serta William Peter Blatty dan William Friedkin yang menghasilkan The Exorcist (1973) yang legendaris.